Trip to the Philippines
Banyak yang nanya "Kenapa ke Filipina? Kenapa ga ke negara lain?"
Alasannya sederhana, karena saya ingin bertemu teman-teman Filipina yang dulu pernah studi bareng di China, sesuai janji saya lima tahun yang lalu.
Perjalanan ke Filipina tidak sulit, apalagi negara ini memberlakukan gratis visa traveling 30 hari untuk pemegang Indonesia. Hanya saja, tidak ada penerbangan direct dari Jakarta ke kota domisili teman-teman saya yaitu Angeles City, Propinsi Pampanga. Jadi saya mengambil rute penerbangan Tiger Air Jakarta-Singapore-Angeles-Singapore-Jakarta yang mengharuskan saya menginap semalam di Singapore dari dan menuju Angeles. Kalau ingin efisien waktu dan biaya, bisa memilih penerbangan direct ke Manila dan naik bus antar kota dari Manila ke Angeles yang berjarak 2 jam perjalanan. Namun karena saya traveling dengan nyokap, jadi saya menghindari rute yang melelahkan untuk fisik beliau.
Karena transportasi saya selama di Filipina sudah diatur oleh teman-teman (sewa mobil plus sopir, yang ternyata adalah ayah dari salah satu teman, Rowena Carbungco), jadi saya tidak bisa cerita banyak tentang transportasi di sana. Di airport bagian kedatangan ada banyak taxi plat pribadi yang menawarkan jasa, mereka tampak profesional karena masing-masing sopir mengenakan name tag identitas. Untuk di kota, trasnportasi yang umum digunakan adalah jeepney, semacam angkot dengan kapasitas penumpang lebih banyak dari angkot di Jakarta, dan juga tricycle yang mirip motor sespan.
Hari pertama tiba di Angeles City sudah lewat jam makan malam, Yahs dan Dette menjemput kami di airport lalu check in di Royce Hotel dan makan malam di restoran Korea bernama Koko Buri di area Clark Center dekat hotel. Recommended dish di restoran ini adalah Garlic Chicken khas Korea.
Agenda hari kedua adalah main ke Baguio City dan mengunjungi orangtua Rowena Duldulao di Rosales City. Perjalanan dari Angeles City ke Baguio City sekitar 3 jam. Baguio City atau City of Baguio yang terletak di sebelah utara Pulau Luzon terkenal sebagai Summer Capital of the Philippines karena memiliki udara yang sejuk di ketinggian ± 1.500 meter. Sebelas dua belas lah dengan Puncak, Bogor. Bedanya, Baguio City bukan hanya objek wisata yang digemari keluarga, tapi juga matang dari segi infrastruktur dan sosial ekonomi. Dari pengamatan saya, Baguio City bagaikan kota biasa yang berdiri sendiri di atas bukit, dengan banyak gedung perkantoran dan bahkan universitas bergengsi yang bertengger di sana. Sama sekali tidak memberikan kesan turistis.
Ada beberapa spot menarik di Baguio City, tapi sayangnya hari itu hujan, jadi kami hanya sempat ke beberapa tempat saja, yaitu Burnham Park Lake, Mines View Park dan Our Lady of Atonement Cathedral.
Ada beberapa spot menarik di Baguio City, tapi sayangnya hari itu hujan, jadi kami hanya sempat ke beberapa tempat saja, yaitu Burnham Park Lake, Mines View Park dan Our Lady of Atonement Cathedral.
Burnham Park Lake
Area Burnham Park Lake tidak terlalu besar, aktivitas outdoor yang populer adalah bersepeda dan mengayuh kapal di danau. Banyak juga wahana dan ruangan-ruangan lain yang diperuntukkan anak-anak usia sekolah. Suasananya mirip Taman Safari. Saya dan Rowena Duldulao sewa sepeda yang muat 2 penumpang dengan 1 pedal. Tarifnya PHP 70/jam. Giliran pertama mengayuh sepeda adalah Rowena Duldulao, saya masih sempet foto-foto dan rekam video. Agak malu juga sih karena kebanyakan yang main sepeda adalah bocah-bocah, haha.. Giliran berikutnya saya yang kayuh, eh buseeet, ternyata berat juga yah kayuh sepeda untuk 2 orang, hahaha.. Tapi karena udaranya sejuk, jadi ga berasa cape dan ga keringetan.
Mines View Park
Mines View Park juga tidak terlalu luas, tempat ini terletak di sisi bukit yang menurun dengan view Baguio City yang epic banged. Di sini juga dijual berbagai macam tanaman siap tanam seperti rosemary, parsley, celery dan berbagai macam bunga. Dan saya pun menemukan restoran Malay/Indo yang menyajikan menu sate. Haha..
Rowena Duldulao |
Our Lady of Atonement Cathedral
Our Lady of Atonement Cathedral atau Baguio Cathedral sangat menarik untuk dikunjungi karena bangunannya antik (tebakan saya gereja ini bergaya Gothic) dengan dinding bagian dalam bangunan dicat warna pink dan terdapat bilik pengakuan dosa seperti di serialnya Dulce Maria di kiri kanan dalam gereja. Maklum, di Indo jarang ada, jadi saya rada kampungan liad bilik pengakuan dosa ini (*sayangnya saya lupa foto). Di pelataran gereja juga terdapat kios-kios yang menjual penganan dan suvenir serta spot foto yang menyajikan pemandangan Baguio City.
Semasa studi di China dulu, saya sering ngobrol dengan Rowena Duldulao dan tahu tentang keluarga besarnya dan kisah cinta orangtuanya. Ayah Rowena Duldulao adalah seorang pilot sekaligus mekanik pesawat tempur Filipina yang bertugas untuk Amerika di bagian selatan Vietnam saat Perang Vietnam pecah. Di sanalah beliau bertemu dengan istrinya, warga Vietnam, yang terpaut 11 tahun. Mereka menikah dan memiliki 3 orang anak sebelum akhirnya pindah menetap di Filipina hingga sekarang. Sayangnya salah satu anak mereka meninggal dalam kecelakaan lalin dan menyedot harta mereka dalam pertarungan di pengadilan. Saya lupa anak yang ke berapa, yang pasti musibah itu terjadi sebelum Rowena lahir. Dan kehilangan itu menjadi salah satu sebab Rowena memiliki keluarga besar dengan total 14 orang anak (termasuk almarhum).
Saya yang overdosis novel dan film, sebelumnya mengira kisah cinta zaman perang cuma bumbu semata supaya ceritanya lebih menarik. Emang sih ada teori literatur yang mengatakan bahwa kisah-kisah dalam karya sastra merupakan cerminan kehidupan sosial (koq tumben berbobot Jox? Yah kan itu teori yang eke pake pas nulis skripsi dulu, haha..), tapi saya tetap takjub dengan kisah nyata orangtua Rowena. Makanya saya bertekad untuk ketemu langsung dengan orangtua Rowena selagi masih ada kesempatan. Jadi destinasi terakhir di hari kedua adalah rumah Rowena di Rosales City, Pangasinan.
Bertemu dengan orangtua Rowena seperti bertemu dengan saksi sejarah, saya berusaha menyerap setiap momen yang ada dan menyimak segala ucapan mereka. Sesuai bayangan saya, ayah Rowena, walaupun sudah usia 75 tahun, tetap tampak bugar dan macho, sisa-sisa ketampanannya masih terlihat, eeaaaa... Rowena pernah bilang bahwa kakak-kakaknya merasa angkatan Rowena lebih beruntung (Rowena anak ke-11) karena ayahnya sudah tidak sedisiplin dulu terhadap anak-anaknya. Tapi, tentu saja, Rowena tetep ciut kalau dengar suara lantang ayahnya. Ayah Rowena tampak jangkung dan gagah, sementara ibunya ramping dan cantik. Ibunya sibuk utak-atik tab-nya, menggali foto-foto zaman dulu yang disimpan dalam album facebook-nya. Foto pacaran mereka tampak modis dan keren.
Waktu duduk di ruang tamu ngobrol dengan mereka, tentunya saya bertanya tentang masa lalu mereka, yang dengan bangga diceritakan kembali oleh ayahnya. "She's the only love in my life", katanya. Awww!
Dan rupanya ayah Rowena likes to joke around. Dia tanya saya berapa bersaudara. Saya jawab hanya dua bersaudara.
"Why?"
"Because of the two children policy at that time."
"Ah.. Here we don't have family planning, so we keep on planting.."
Hahahahaa..
Lalu ketika hari sudah gelap, saya tanya haruskah kita tutup pintu rumah supaya nyamuk ga masuk? Dia bilang gapapa, ditutup ataupun ga, tetep banyak nyamuk di dalam.
"There are a lot of mosquitoes here. Sometimes I close the door and sleep, and then the next morning I wake up outside.."
Hahahahaa..
Though the journey was long, but in such limited time, I could feel their modesty and welcoming heart that made me feel like I'm not a stranger but a long time no see relatives. It was pleasant and I sincerely hope destiny would give us another chance to meet again.
Hari ketiga, kami makan siang bareng Yahs dan Dette di restoran bersejarah, Camalig, yang terletak di lantai dua sebuah bangunan kuno. Menu yang disajikan adalah makanan khas Filipino dan bersistem buffet. Kalau cek di internet sih restoran ini terkenal dengan pizza nya, tapi saya ga cobain pizza karena lebih pengen nyobain rasa otentik kuliner lokal. Tempatnya juga bagus untuk foto-foto tapi kapasitasnya terbatas.
Dari Camalig, kita mampir sebentar ke SM Mall lalu karaoke di I.M. Monster. Personil bertambah Rowena Duldulao dan Rowena Carbungco, duo maut yang suaranya aduhai. Seneng banged bisa denger suara mereka lagi. Tapi sayangnya daftar lagu di tempat ini masih sistem manual pake katalog lalu input nomor kode di mesin. Duh ilah.. mata jadi sepet nyariin judul lagu. Apalagi ga ada lagu Korea dan China dalam daftar. Yang ada cuma Qing Fei De Yi-nya Meteor Garden.. gubraakkk.. Ditambah lagi video klip yang muncul di monitor tidak sesuai dengan lagu yang dinyanyikan. Jadi apapun lagunya, video yang ditampilkan hanya beberapa video klip group band Korea yang ga femes dan diputar berulang-ulang. Padahal sepertinya tempat ini dikelola orang Korea loh, karena ada tulisan-tulisan Korea di ruang depan dan tempat duduk karaoke pake bantal duduk di lantai seperti di rumah orang Korea. Yang paling oke dari tempat ini mungkin adalah menu yang ditawarkan beragam, mulai dari makanan ringan seperti french fries, popcorn dan gyoza, sampai ayam panggang dan hotplate wortel jagung mentega. Yumm!
Hari keempat sekaligus terakhir, Yahs dan Chic menemani kami ke Holy Rosary Parish, yang kebetulan sedang mengadakan pembaptisan bayi. Kalau gereja Katolik di Indo beken dengan Goa Maria, di sini saya menemukan tempat bernama Blessed Sacrament, di mana umat berdoa di hadapan Sakramen Kudus di suatu ruangan terpisah dari bangunan gereja.
Setelah ke gereja, kita makan siang di restoran di Hotel Midori, tempat kerja Yahs dan Dette. Rowena Carbungco datang menyusul dan Phebe mampir sebentar. Saya sempet ketemu dengan Chef Jerry yang dulu pernah lama jadi koki di kapal dan sering singgah di Indo sampai dia akhirnya bisa sedikit Bahasa Indonesia. Saya juga ketemu chef asal Taiwan yang mereka panggil "Master" alias "Shifu". Orangnya periang dan kocak, keliatannya asik banged kerja bareng beliau di dapur. Dan itu juga yang bikin Dette, yang sebenarnya berposisi sebagai sekretaris, juga enjoy jadi asisten sang "Master" di dapur untuk bantu menerjemah.
Dan selesai pula perjalanan saya di Filipina. Tujuan terakhir adalah Clark International Airport. Untungnya perpisahan kali ini ga pake drama dan air mata seperti 5 tahun yang lalu. Seolah mengatakan bahwa hey, it's okay, we'll meet again someday!
Nothing really changed in the past few years, our friendship remains the same and 5 years is just numbers. I'm so glad to have these friends and feeling grateful of their hospitality. Traveling to the Philippines was much more fun with them and I officially mark 2017 as one of the best years I've ever had.
Thank you, Pashamen!
Saya yang overdosis novel dan film, sebelumnya mengira kisah cinta zaman perang cuma bumbu semata supaya ceritanya lebih menarik. Emang sih ada teori literatur yang mengatakan bahwa kisah-kisah dalam karya sastra merupakan cerminan kehidupan sosial (koq tumben berbobot Jox? Yah kan itu teori yang eke pake pas nulis skripsi dulu, haha..), tapi saya tetap takjub dengan kisah nyata orangtua Rowena. Makanya saya bertekad untuk ketemu langsung dengan orangtua Rowena selagi masih ada kesempatan. Jadi destinasi terakhir di hari kedua adalah rumah Rowena di Rosales City, Pangasinan.
Bertemu dengan orangtua Rowena seperti bertemu dengan saksi sejarah, saya berusaha menyerap setiap momen yang ada dan menyimak segala ucapan mereka. Sesuai bayangan saya, ayah Rowena, walaupun sudah usia 75 tahun, tetap tampak bugar dan macho, sisa-sisa ketampanannya masih terlihat, eeaaaa... Rowena pernah bilang bahwa kakak-kakaknya merasa angkatan Rowena lebih beruntung (Rowena anak ke-11) karena ayahnya sudah tidak sedisiplin dulu terhadap anak-anaknya. Tapi, tentu saja, Rowena tetep ciut kalau dengar suara lantang ayahnya. Ayah Rowena tampak jangkung dan gagah, sementara ibunya ramping dan cantik. Ibunya sibuk utak-atik tab-nya, menggali foto-foto zaman dulu yang disimpan dalam album facebook-nya. Foto pacaran mereka tampak modis dan keren.
Waktu duduk di ruang tamu ngobrol dengan mereka, tentunya saya bertanya tentang masa lalu mereka, yang dengan bangga diceritakan kembali oleh ayahnya. "She's the only love in my life", katanya. Awww!
Dan rupanya ayah Rowena likes to joke around. Dia tanya saya berapa bersaudara. Saya jawab hanya dua bersaudara.
"Why?"
"Because of the two children policy at that time."
"Ah.. Here we don't have family planning, so we keep on planting.."
Hahahahaa..
Lalu ketika hari sudah gelap, saya tanya haruskah kita tutup pintu rumah supaya nyamuk ga masuk? Dia bilang gapapa, ditutup ataupun ga, tetep banyak nyamuk di dalam.
"There are a lot of mosquitoes here. Sometimes I close the door and sleep, and then the next morning I wake up outside.."
Hahahahaa..
Though the journey was long, but in such limited time, I could feel their modesty and welcoming heart that made me feel like I'm not a stranger but a long time no see relatives. It was pleasant and I sincerely hope destiny would give us another chance to meet again.
Nyokap, Rowena, Mrs Duldulao, Mr Duldulao, Me, Ronald (Row's youngest sibling) |
Hari ketiga, kami makan siang bareng Yahs dan Dette di restoran bersejarah, Camalig, yang terletak di lantai dua sebuah bangunan kuno. Menu yang disajikan adalah makanan khas Filipino dan bersistem buffet. Kalau cek di internet sih restoran ini terkenal dengan pizza nya, tapi saya ga cobain pizza karena lebih pengen nyobain rasa otentik kuliner lokal. Tempatnya juga bagus untuk foto-foto tapi kapasitasnya terbatas.
Dari Camalig, kita mampir sebentar ke SM Mall lalu karaoke di I.M. Monster. Personil bertambah Rowena Duldulao dan Rowena Carbungco, duo maut yang suaranya aduhai. Seneng banged bisa denger suara mereka lagi. Tapi sayangnya daftar lagu di tempat ini masih sistem manual pake katalog lalu input nomor kode di mesin. Duh ilah.. mata jadi sepet nyariin judul lagu. Apalagi ga ada lagu Korea dan China dalam daftar. Yang ada cuma Qing Fei De Yi-nya Meteor Garden.. gubraakkk.. Ditambah lagi video klip yang muncul di monitor tidak sesuai dengan lagu yang dinyanyikan. Jadi apapun lagunya, video yang ditampilkan hanya beberapa video klip group band Korea yang ga femes dan diputar berulang-ulang. Padahal sepertinya tempat ini dikelola orang Korea loh, karena ada tulisan-tulisan Korea di ruang depan dan tempat duduk karaoke pake bantal duduk di lantai seperti di rumah orang Korea. Yang paling oke dari tempat ini mungkin adalah menu yang ditawarkan beragam, mulai dari makanan ringan seperti french fries, popcorn dan gyoza, sampai ayam panggang dan hotplate wortel jagung mentega. Yumm!
Yahs, Dette, writer, Rowena Duldulao, Rowena Carbungco |
Hari keempat sekaligus terakhir, Yahs dan Chic menemani kami ke Holy Rosary Parish, yang kebetulan sedang mengadakan pembaptisan bayi. Kalau gereja Katolik di Indo beken dengan Goa Maria, di sini saya menemukan tempat bernama Blessed Sacrament, di mana umat berdoa di hadapan Sakramen Kudus di suatu ruangan terpisah dari bangunan gereja.
Blessed Sacrament |
Setelah ke gereja, kita makan siang di restoran di Hotel Midori, tempat kerja Yahs dan Dette. Rowena Carbungco datang menyusul dan Phebe mampir sebentar. Saya sempet ketemu dengan Chef Jerry yang dulu pernah lama jadi koki di kapal dan sering singgah di Indo sampai dia akhirnya bisa sedikit Bahasa Indonesia. Saya juga ketemu chef asal Taiwan yang mereka panggil "Master" alias "Shifu". Orangnya periang dan kocak, keliatannya asik banged kerja bareng beliau di dapur. Dan itu juga yang bikin Dette, yang sebenarnya berposisi sebagai sekretaris, juga enjoy jadi asisten sang "Master" di dapur untuk bantu menerjemah.
the Master is the only male in the above picture |
Dan selesai pula perjalanan saya di Filipina. Tujuan terakhir adalah Clark International Airport. Untungnya perpisahan kali ini ga pake drama dan air mata seperti 5 tahun yang lalu. Seolah mengatakan bahwa hey, it's okay, we'll meet again someday!
Nothing really changed in the past few years, our friendship remains the same and 5 years is just numbers. I'm so glad to have these friends and feeling grateful of their hospitality. Traveling to the Philippines was much more fun with them and I officially mark 2017 as one of the best years I've ever had.
Thank you, Pashamen!
Notes:
* Clark International Airport masih memberlakukan tax airport sebesar PHP 600 yang dibayar di loket khusus setelah check in.
* The long road journey didn't bore me because of Rowena Carbungco's father. He is such a great driver with good English and his jokes made the trip much more interesting. And he knows nice spots to take pictures too. If you happen to travel to Manila or Angeles and need a convenient and safe transportation, feel free to contact me, I'll reach out to Rowena Carbungco and connect you with him.
* The long road journey didn't bore me because of Rowena Carbungco's father. He is such a great driver with good English and his jokes made the trip much more interesting. And he knows nice spots to take pictures too. If you happen to travel to Manila or Angeles and need a convenient and safe transportation, feel free to contact me, I'll reach out to Rowena Carbungco and connect you with him.
Comments